TIMES BANJARMASIN – Boleh dibilang Israel memang haus darah, haus kematian terhadap warga Palestina di Gaza meski timnya menuju Qatar untuk berunding gencatan senjata dengan Hamas, namun mereka lebih dulu memutus aliran listrik untuk kebutuhan hidup warga Gaza.
Tim Israel yang dipimpin seorang pejabat tinggi dari badan keamanan dalam negeri Shin Bet, Senin (10/3/2025) kemarin menuju Qatar untuk perundingan gencatan senjata Gaza.
Aliran listrik satu-satunya yang diputus Israel itu adalah menuju jalur listrik ke pabrik desalinasi air di Gaza.
Desalinasi adalah proses menghilangkan garam dan mineral dari air laut atau air payau sehingga menjadi air tawar. Gaza tidak memiliki fasilitas air lagi karena semuanya dihancurkan Israel sejak perang 7 Oktober.
Israel sengaja memutus pasokan listrik ke wilayah Palestina tersebut untuk meningkatkan tekanan pada Hamas.
"Kami akan menggunakan semua alat yang kami miliki untuk membawa kembali para sandera dan memastikan bahwa Hamas tidak lagi berada di Gaza sehari setelah" perang, kata Menteri Energi Eli Cohen.
Hamas, Inggris dan Jerman mengecam tindakan Israel tersebut. Bahkan Hamas menyebut itu sebagai "pemerasan murahan dan tidak dapat diterima".
Fase pertama kesepakatan gencatan senjata telah berakhir 1 Maret lalu tanpa ada kesepakatan selanjutnya terutama mengenai tahap-tahapa yang seharusnya mengamankan akhir yang langgeng dari perang yang meletus dengan serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023 terhadap Israel itu.
Ada perbedaan pendapat mengenai bagaimana cara melanjutkannya. Hamas menginginkan perundingan segera mengenai fase berikutnya, tetapi Israel lebih suka memperpanjang fase pertama.
Hamas menuduh Israel mengingkari kesepakatan gencatan senjata, dengan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin bahwa Israel menolak untuk memulai fase kedua, mengungkap niatnya untuk mengelak dan mengulur waktu.
Israel juga telah menghentikan pengiriman bantuan ke Gaza di tengah kebuntuan tersebut, dan sebelumnya yakni hari Minggu kemarin memang telah mengancam bahwa mereka akan memutus pasokan listrik.
Namun seorang pejabat Israel yang mengetahui perundingan tersebut menyebutkan kepada AFP, bahwa tim negaranya tetap berangkat ke Doha, Qatar.
Juru bicara Hamas, Abdul Latif Al-Qanoua mengatakan langkah Israel yang memutus aliran listrik untuk pengelolaan air itu akan berdampak pada para sandera sendiri yang masih ditahan di Gaza.
"Keputusan untuk memutus aliran listrik adalah pilihan yang gagal dan menimbulkan ancaman bagi para tahanannya (Israel), yang hanya akan dibebaskan melalui negosiasi," kata Qanoua dalam sebuah pernyataan pada hari Senin.
Jerman, Inggris, Mesir Mengecam
Jerman, Mesir dan Inggris juga sama-sama mengecam tindakan Israel yang telah memutus aliran listrik untuk keperluan desalinasi itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman, Kathrin Deschauer mengatakan, Gaza "kembali terancam kekurangan pangan" dan bahwa pemutusan aliran listrik itu "tidak bisa diterima dan tidak sesuai dengan kewajiban (Israel) berdasarkan hukum internasional."
Juru bicara resmi Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan kepada wartawan, bahwa Inggris sangat prihatin dengan laporan ini dan mendesak Israel untuk mencabut pembatasan-pembatasan itu.
Otoritas Palestina yang berpusat di Ramallah juga mengecam Israel, menyebut tindakan itu sebagai "eskalasi genosida" di Gaza.
Unicef memperingatkan, saat ini hanya satu dari 10 orang di Gaza yang bisa mengakses air minum aman. Situasinya memburuk sejak keputusan Israel pada hari Minggu untuk memutus aliran listrik ke wilayah itu, sehingga mengganggu operasi desalinasi penting.
Rosalia Bollen, pejabat Unicef di Gaza, mengatakan 600.000 orang yang telah mendapatkan kembali akses air minum pada bulan November sekali lagi terputus.
“Sangat penting bagi ribuan keluarga dan anak-anak untuk memulihkan hubungan ini,” katanya.
Badan PBB memperkirakan bahwa 1,8 juta orang, lebih dari separuhnya anak-anak, sangat membutuhkan bantuan air, sanitasi, dan kebersihan.
Berbicara kepada wartawan di Jenewa, Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini menggambarkan situasi tersebut sebagai “mirip dengan situasi yang terjadi” pada awal perang Israel pada Oktober 2023.
Kementerian Luar Negeri Mesir juga mengecam keputusan Israel yang memutus sisa listrik ke Jalur Gaza, dan menyebutnya sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian tersebut menegaskan kembali “penolakan penuh Mesir terhadap kebijakan hukuman kolektif Israel, termasuk penangguhan bantuan kemanusiaan,” dan memperingatkan bahwa tindakan tersebut memperburuk situasi di Gaza.
Ia menyerukan kepada masyarakat internasional untuk memikul tanggung jawabnya dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran ini.
Pejabat tinggi Hamas Izzat Al-Rishq menyebut keputusan Israel yang memutus aliran listrik ke Gaza, setelah merampas makanan, obat-obatan, dan air itu sebagai upaya yang putus asa untuk menekan rakyat Palestina dan perlawanan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Berunding Gencatan Senjata, Israel Putus Satu-satunya Aliran Listrik Kehidupan di Gaza
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |